Kamis, 12 September 2013

Pelita 1-6, Tap MPRS 1960-1968 dan Versi Supersemar

Diposting oleh Unknown di 00.23


1. 1. Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
* Tujuan Pelita I :
Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
* Sasaran Pelita I :
Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
* Titik Berat Pelita I :
Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
1. 2. Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.
1. 3. Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

1. 4. Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
1. 5. Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
1. 6. Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980. Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Den





KETETAPAN MPRS 1960-1968
Nomor
Tahun
Tentang
I/MPRS/1960
1960
Manifesto Politik Republik Indonesia Sebagai Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara
II/MPRS/1960
1960
Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 - 1969
III/MPRS/1960
1960
Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup
IV/MPRS/1963
1963
Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara Dan Haluan Pembangunan
V/MPRS/1965
1965
Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS Yang Berjudul "Berdikari" Sebagai Penegasan Revolusi Indonesia Dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol Dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia
VI/MPRS/1965
1965
Banting Stir Untuk Berdiri Di Atas Kaki Sendiri Di Bidang Ekonomi Dan Pembangunan
VII/MPRS/1965
1965
Gesuri "The Fifth Freedom Is Our Weapon" Dan "The Era Of Confrontation" Sebagai Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia
VIII/MPRS/1965
1965
Prinsip Permusyawarah Untuk Mufakat Dalam Demokrasi Terpimpin Sebagai Pedoman Bagi Lembaga-Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan
IX/MPRS/1966
1966
Surat Perintah Presiden / Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia / Pemimpin Besar Revolusi / Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
X/MPRS/1966
1966
Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat Dan Daerah Pada Posisi Dan Fungsi Yang Diatur Dalam Undang-Undang 1945
XI/MPRS/1966
1966
Pemilihan Umum
XII/MPRS/1966
1966
Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri
XIII/MPRS/1966
1966
Kabinet Ampera
XIV/MPRS/1966
1966
Pembentukan Panitia-Panitia Ad Hoc MPRS Yang Bertugas Melakukan Penelitian Lembaga-Lembaga Negara, Penyusunan Bagan Pembagian Kekuasaan Diantara Lembaga-Lembaga Negara Menurut Sistim Undang-Undang Dasar 1945, Penyusunan Rencana Penjelasan Pelengkap Undang
XV/MPRS/1966
1966
Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden Dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presidenp
XVI/MPRS/1966
1966
Pengertian Mandataris MPRS
XVII/MPRS/1966
1966
Pemimpin Besar Revolusi
XVIII/MPRS/1966
1966
Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963
XIX/MPRS/1966
1966
Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara Diluar Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan Undang-Undangan Dasar 1945
XX/MPRS/1966
1966
Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
XXI/MPRS/1966
1966
Pemberian Otonomi Seluas-Luas Kepada Daerah
XXII/MPRS/1966
1966
Keamanan, Keormasan Dan Kekaryaan
XXIII/MPRS/1966
1966
Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan Dan Pembangunan
XXIV/MPRS/1966
1966
Kebijaksanaan Dalam Bidang Pertahanan/Keamanan
XXV/MPRS/1966
1966
Pembubaran Partai Komunis Indonesia Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme
XXVI/MPRS/1966
1966
Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno
XXVII/MPRS/1966
1966
Agama, Pendidikan, Dan Kebudayaan
XXVIII/MPRS/1966
1966
Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963
XXIX/MPRS/1966
1966
Pengangkatan Pahlawan Ampera
XXX/MPRS/1966
1966
Pencabuatan Bintang "Maha Putra" Kelas III Dari D.N. Aidit
XXXI/MPRS/1966
1966
Ketetapan Tentang Penggantian Sebutan "Paduka Yang Mulia" (P.Y.M.), "Yang Mulia" (Y.M.), "Paduka Tuan" (P.T.) Dengan Sebutan "Bapak/Ibu" Atau "Saudara/Saudari"
XXXII/MPRS/1966
1966
Pembinaan Pers
XXXIII/MPRS/1967
1967
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Soekarno
XXXIV/MPRS/1967
1967
Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 Tentang Manisfesto Politik Republik Indonesia Sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
XXXV/MPRS/1967
1967
Pencabutan Ketetapan MPRS No.XVII/MPRS/1960
XXXVI/MPRS/1967
1967
Pencabutan Ketetapan MPRS No.XXVI/MPRS/1960
XXXVII/MPRS/1968
1968
Pencabutan Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
XXXVIII/MPRS/1968
1968
Pencabutan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1963, Ketetapan MPRS No. V/MPRS/1965, Ketetapan MPRS No. VI/MPRS/1965, dan Ketetapan MPRS No. VII/MPRS/1965
XXXIX/MPRS/1968
1968
Pelaksanaan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966
XL/MPRS/1968
1968
Pembentukan Panitia Ad Hoc MPRS yang Tugasnya Meninjau Kembali Ketetapan-Ketetapan MPRS Hasil Sidang Umum IV Tahun 1966 dan Sidang Istimewa MPRS Tahun 1967
XLI/MPRS/1968
1968
Tugas Pokok Kabinet Pembangunan
XLII /MPRS/1968
1968
Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 Tentang Pemilihan Umum
XLIII/MPRS/1968
1968
Penjelasan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966
XLIV/MPRS/1968
1968
Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia




 VERSI SUPERSEMAR
  • Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
  • Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.




2 komentar:

Unknown on 11 Januari 2016 pukul 23.07 mengatakan...

no 9 mengenai pengebanan supersemar
no 12 mengenai politik luar negeri bebas aktif
no 13 mengenai kabinet ampera
no 25 mengenai PKI sebagai partai terlarang
no 33 mengenai pencabutan kekuasaan dari soekarno ke soeharto

Unknown on 11 Januari 2016 pukul 23.14 mengatakan...

penyerahan parpol menjadi 3
1. kelompok demokrasi pembangunan : PNI, Partai katolik, Parkindo, murba
2. Kelompok partai persatuan pembangunan : PSII, Perti
3. kelompok golkar : golongan profesi buruh, pelayan, petani

Posting Komentar

 

Kirei to Aegyo ^,^ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Ugg Boots Sale | web hosting