TUGAS SEJARAH
XII IPA 6
PERISTIWA
G-30-S/PKI
A. Perkembangan
PKI pada Masa Demokrasi Terpimpin
Sejak
demokrasi terpimpin dilaksanakan di Indonesia , keiatan politik didominasi oleh
PKI. Perkembangan politik pada saat itu didasarkan pada pelaksanaan ide nasakom
(nasionalis, agama, dan komunis). Hal ini menyebabkan PKI mendapatkan
kesempatan untuk memperluas pengaruhnya disemua lapisan masyarakat termasuk di
pemerintahan dan ABRI. Pengaruh PKI semakin meluas di masyarakat disebabkan
oleh hal-hal berikut.
a.
Keputusan
pemerintah membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan
kekuatan politik pesaing PKI pada bulan Agustus 1968.
b.
Kondisi
ekonomi yang menurun dimanfaatkan olek PKI untuk membangun simpati terutama
dikalangan masyarakat bawah karena mereka paling mengalami tekanan ekonomi
akibat harga-harga barang yang tidak terbeli.
c.
Keberhasilan
PKI memobilisasi para buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, dan pegawai
rendahan dengan menjanjikan untuk mendapatkan kenaikan pendapatan.
B. Berbagai
Aksi PKI sebelum G-30-S/PKI
PKI
menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin telah memperoleh kedudukan yang kuat
dan menjadi salah satu partai terbesar dalam Pemilu 1 tahun 1955 setelah
PNI,Masyumi, dan NU. Beberapa tindakan PKI sebelum peristiwa G-30-S/PKI, antara
lain sebagai berikut.
a.
Melakukan aksi-aksi pemogokan yang
mengakibatkan terjadinya kecelakaan kereta api, seperti di Purwokerto (Januari
1964), Cirebon (14 Mei 1964), Semarang (6 Juli 1964), Bandung (31 Agustus
1964), dan Tasikmalaya (11 Oktober 1964).
b.
Melakukan
aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas PKI di beberapa daerah,
seperti di Indramayu (16 Oktober 1964), Bandar Betsy (14 Mei 1965), Kanigoro
(13 Januari 1965), dan pengrusakan kantor gubernur Jawa Timur (27 September
1965).
c.
Melakukan
ilfiltrasi (penyusupan) dalam organisasi masyarakat dan sosial politik serta
TNI.
d.
Mengusulkan
pembentukan Angkatan Kelima.
e.
Mengadakan
latihan kemiliteran bagi ormasnya, seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani.
f.
Menciptakan
isu ‘’Dewan Jenderal’’ yang akan melakukan kudeta kepada perintah.
g.
Menyingkirkan
lawan-lawan politik PKI, seperti pembubaran Partai Murba oleh pemerintah atas
desakan PKI.
C. Pertentangan
antara PKI dan Angkatan Darat (AD)
Adanya
perbedaan ideology dan kepentingan antara PKI dan Angkatan Darat menyebabkan
keduanya bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang dianutnya, PKI
berkepentingan merintis berdirinya Negara komunis. Sedangkan Angkatan Darat
sebagai kekuatan pertahanan Negara berkepentingan mengamankan Pancasila sebagai
dasar Negara.
Pada
bulan Januari 1965 PKI mengajukan gagasan pembentukan Angkatan Kelima. Gagasan
tersebut berisi tuntutan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Hal tersebut
dilakukan untuk menggalang kekuatan menghadapi neokolonial imperialisme
(neokolin) Inggris dalam rangka Dwikora. Pada bulan Mei 1965, PKI melempar isu
adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat. Menurut PKI, Dewan Jenderal
ditafsirkan sebagai badan yang mempersiapkan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno.
Angkatan Darat secara tegas menolak
gagasan pembentukan Angkatan Kelima. Menurut Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad
Yani, pembentukan Angkatan Kelima tidak efisien dan merugikan revolusi
Indonesia. Penolakan pembentukan Angkatan Kelima dinyatakan pula oleh Laksamana
Muda Martadinata atas nama Angkatan Laut. Mereka hanya dapat menerima jika
Angkaan Kelima berada dalam lingkungan ABRI dan ditangan komando perwira yang
professional. Adapun dalam menanggapi adanya isu Dewan Jenderal, melainkan Dewa
jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas memberikan usul kepada
men/pangad tentang promosi jabatan dan pangkat para perwira tinggi.
Di
tengah persaingan antara PKI dan Angkatan Darat, pada bulan Juli 1965 muncul
berita tentang memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Menurut tim dokter yang
khusus didatangkan dari RRC, ada kemungkinan presiden akan lumpuh jika tidak
meninggal. Pimpinan PKI yang mengetahui beraita itu langsung dari dokter-dokter
RRC, merasa perlu segera mengambil tindakan.
D. Sebab
– sebab Munculnya G30 S/PKI
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951,
ia dengan cepat membangun kembali PKI yang porak – poranda akibat kegagalan
pemberontakan tahun 1948. Usaha tersebut berhasil dan PKI dalam pemilu 1955
menempati urutan pertama .
PKI ingin merebut kekuasaan melalui parlemen pada masa
demokrasi terpimpin dan juga menguasai wilayah Republik Indonesia . Untuk
mencapai itu PKI melakukan cara :
a. Membentuk
biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader – kader di
berbagai organisasi politik termasuk ABRI .
b. Memengaruhi
Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan – lawan
politiknya.Tampak dengan dibubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan Partai Murba
oleh presiden .
c. Memecah
belah PNI menjadi 2 kelompok dengan menyusupkan Ir. Surachman (seorang tokoh
PKI) ke dalam tubuh PNI .
Setelah PKI merasa cukup kuat , dihembuskan isu bahwa
pimpinan TNI AD membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap
Presiden Soekarno pada saat peringatan Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965.
PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal itu adalah agen Nekolim
(Amerika Serikat/Inggris. Tuduhan itu ditolak AD, bahkan AD langsung menuduh
PKI yang melakukan perebutan kekuasaan.
Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI 5
Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan
September 1965, sehingga dugaan – dugaan akan terjadinya kudeta semakin
bertambah santer.
1.
Peristiwa G30S/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI , tersiar kabar
bahwa kesehatan Presiden Soekarno menurun dan kemungkinan akan lumpuh/meninggal.
Mengetahui hal tersebut D.N Aidit langsung memulai gerakan. Rencana gerakan
diserahkan kepada Kamaruzaman (alias Syam) yang diangkat sebagai ketua Biro
Khusus PKI dan disetujui oleh D.N Aidit. Biro khusus ini menghubungi kadernya
dikalangan ABRI , seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari
Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari TNI AL , Marsekal Madya Omar Dani dari Tni AU
dan Kolonel Anwar dari Kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan
PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Melalui serangkaian pertemuan
itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa Gerakan September 1965 secara fisik
dilakukan dengan kekuatan militer yang di pimpin oleh Letnan Kolonel Untung ,
Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) yang
bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari Gerakan G30S/PKI 1965, Letnan
Kolonel Untung mengambil keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota
gerakan untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini
hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap 6
perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari AD. Para perwira disiksa dan
selanjutnya dibunuh. Mereka dibawa ke Lubang Buaya. Selanjutnya dimasukkan ke
dalam sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah. 7 korban tersebut :
1. Letnan
Jenderal A. Yani ( Menteri/Panglima AD / Men Pangad )
2. Mayor
Jenderal R. Soeprapto ( Deputy II Pangad )
3. Mayor
Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo ( Deputy III Pangad )
4. Mayor
Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad )
5. Brigadir
Jenderal Donald Izacus Panjaitan ( Asisten IV Pangad )
6. Brigadir
Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur)
7. Letnan
Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H Nasution.
Ketika terjadi penculikan Jendral A.H Nasution berhasil
menyelamatkan diri. Namun putrinya yang bernama Ade Irma Suryani gugur. Ajudan
Jenderal A.H Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga
menjadi korban. Korban lainnya adalah adalah pembantu Letnan Polisi Karel
Satsuit Tubun.
Pada waktu bersamaan , G30S/PKI mengadakan perebuta kekuasaan di Yogyakarta , Solo, Wongiri dan
Semarang. Selanjutnya G30S/PKI mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui
RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 yang dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung .
Dewan Revolusi di Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka telah melakukan penculikan
erhadap Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono. Ke 2 perwira TNI AD dibunuh oleh
gerombolan penculik didesa Kentungan . PENUMPASAN
G30S/PKI DAN TUNTUTAN MASSA DALAM PEMBUBARANNYA
- 1. TINDAKAAN KOSTRAD
- Penilaian Panglima Kostrad
Pada hari Jum’at tanggal 1
Oktober 1965 pagi hari, setelah memperoleh informasi terjadinya penculikan dan
pembunuhan terhadap pimpinan TNI-AD , pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera
mengumpulkan staffnya di markas Kostrad, untuk mempelajari situasi. Dalam rapat
tersebut Pangkostrad belum mendapat gambaran yang lengkap dan jekas tentang gerkan
yang beru saja terjadi, serta belum mengetahui tempat presiden berada. Setelah
tampilnya Letkol Inf. Untung, seorang perwira menengah TNI-AD yang pernah
berdinas dalam jajaran Kodam VII/Doponegoro dan beliau ketahui sebagai anggota
PKI, dengan pengumuman pertamannya yang disiarkan setelah warta berita RRI
Jakarta pukul 07.00, maka Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto mempunyai keyakinan
bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkandan
merebut kekuasan dari Pemerintah RI yang sah.
- Operasi Penumpasan
Berdasarkan
keyakinan itu, Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk
menumpas gerakan pengkhiatan tersebut. Beliau segera mengkonsolidasikan dan
menggerakkan personil Markas Kostrad dan satuan-satuan lain di Jakarta yang
tidak mendukung Gerakan 30 September, disertai dengan usaha menginsyafkan
kesatuan-kesatuan yang digunakan oleh Gerakan 30 September. Imbangan kekuatan
makin tidak menguntukan pihak Gerakan 30 September, terutama setelah sebagian
besar satuan yang digunakan oleh beberpa perwira yang dibina PKI berhasil
disadarkan dan kembali menggabungkan diri kedalam Komando dan pengendalian
Kostrad. Setelah pasukan-pasukan yang dopengaruhi oleh G30S berhasil
disadarkan, maka langkah selanjutnya adalah merebut RRI Jakarta dan Kantor
Besar Telkom yang sejak pagi-pagi diduduki oleh pasukan Kapten Inf. Suradi yang
berada dibawah komando Kolonel Inf. A. Latief. Pada pukul 17.00 pasukan RPKAD
dibawah pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan merebut kembali
kedua objek penting tersebut dengan sejauh mungkin menghindari pertumpahan
darah.
Pada pukul 17.20 Studio RRI Jakarta telah dikuasai
oleh RPKAD dan bersamaan dengan itu telah direbut pula Kantor Besar Telkom.
Setelah diperoleh laporan bahwa daerah di sekitar pangkalan Uadara Halim
Perdanakusuma digunakan sebagai basis Gerakan 30 September, operasi penumpasan
diarahkan ke daerah tersebut. Perkembangan menjelang petang tanggal 1 Oktober
1965 berlangsung dengan cepat. Pasukan pendukung G 30 S yang menggunakan Pondok
Gede sebagai basis segera menyadari adanya situasi yang semakin tidak
menguntungkan gerakannya. Situasi menjadi semakin gawat bagi pasukan G 30 S
setelah Presiden memerintahkan secara lisan kepada Brigjen TNI Soepadjo agar
pasukan-pasukan yang mendukung G 30 S menghentikan pertummpahan darah.
Setelah RRI berhasil dikuasai kembali oleh RPKAD,
pada pukul 19.00 Mayjen TNI Soeharto selaku pimpinan sementara AD menyampaikan
pidato radio yang dapat ditangkap diseluruh wilayah tanah air. Dengan
bukti-bukti siaran G 30 S melalui RRI Jakarta Soeharto menjelaskan bahwa telah
terjadi tindakan pengkhianatan oleh apa yang menamakan dirinya Gerakan 30
September. Selanjutnya dijelaskan bahwa G 30 S telah melakukan penculikab
terhadap beberapa Perwira Tinggi TNI-AD, sedangkan Presiden dan Menko
Hankam/Kasab Jendral TNI A.H. Nasution dalam keadaan aman. Situasi Ibu Kota
Negara telah dikuasai kembali dan telah dipersiapkan langkah-langkah untuk
menumpas G 30 S tersebut. Untuk sementara pimpinan AD dipegang oleh Soeharto.
Pidato Pangkostrad tersebut dapat menentramkan hati rakyat yang seharian penuh
diliputi suasana gelisah dan tanda tanya.
Pasukan pendukung G 30 S setelah melakukan
perlawanan lebih kurang setengah jam, pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul
14.00 menghentikan perlawanannya dn melarikan diri dari Pondok Gede.
- 2. TUNTUTAN MASSA DALAM PEMBUBARAN PKI
- 1. Reaksi Partai Politik dan organisasi Massa
Kenyataan menunjukkan bahwa setelah tersiar adanya
G 30 S melalui studio RRI Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965, baik parpol
maupun ormas belum menentukan sikap karena sama sekali tidak mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi dan latar belakangnya. Mereka belum mempunyai pedoman
untuk menanggapinya. Situasi maupun kondisi sosial politik pada saat itu
memaksa mereka bertindak sangat cermat sekali agar sikap yang mereka ambil
jangan sampai menimbulkan kerugian politis bagi partai atau golongan.
Baru setelah mendengar siaran langsung pidato
Soeharto ditempat ditemukannya para korban penculikan pada tanggal 4 Oktober
1965 dan siaran upacara pemakaman para pahlawan Revolusu tanggal 5 Oktober
1965, keluarlah pernyataan-pernyataan dan ormas yang umumnya bernada sebagai
berikut:
1.
Mengucap syukur atas terhindarnya presiden
Soekarno dari bahaya;
2.
Tetap berdiri penuh di belakang presiden/Pangti
ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
3.
Mengutuk pemberontakan dan pengkhianatan G 30 S
4.
Tindakan Spontan Massa terhadap PKI
Setelah diperoleh tanda-tanda yang semakin jelas
bahwa PKI adalah dalang dari pelaku Gerakan 30 September, mulailah terjadi
aksi-aksi spontan berbagai kelompok massa pemuda, mahasiswa dan pelajar. Pada
tanggal 8 Oktober 1965 mulai terjadi aksi-aksi massa menyerbu gedung-gedung
kantor PKI serta ormas-ormasnya. Aksi-aksi massa tersebut terjadi diberbagai
daerah dan tempat-tempat dimana terdapat basis-basis kekuatan PKI disitu
terjadi suasana tegang dan konflik fisik.
Sementara itu tanggal 8 Oktober 1965 di taman
Suropati Jakarta, partai politik dan berbagai organisasi massa melakukan apel
kebulatan tekad untung mengamankan Pancasila. Apel kebulatan tekad tersebut
juga mendesak Presiden untuk membubarkan PKI beserta ormas pendukungnya,
membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta lembaga-lembaga negara lainnya
dari unsur-unsur G 30 S/PKI.
Kegiatan penindakan terhadap PKI yang semula hanya
timbul secara spontan dari masing-masing golongan masa, pemuda, mahasiswa dan
pelajar kemudian menjadi lebih luas. Pada tanggal 2 Oktober 1965 berbagai
partai politik yaitu NU, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, PSII, unsur-unsur
perti, dan unsur-unsur PNI, serta ormas-ormas aanti komunis seperti
Muhamadiyah, SOSKI, dan lain-lain membentuk dan begabung menjadi fron
Pancasila.
Dengan memperhatikan munculnya suasana yang sama
dilingkungan mahasiswa dalam menuntut pembubaran PKI dan menyerbu gedung-gedung
PKI, tanggal 25 Oktober 1965 Menteri perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
(PTIP), Brigjen TNI dr. Syarif Thayeb, memanggil beberapa tokoh dari organisasi
mahasiswa. Beliau mengatakan bahwa untuk menghadapi gerakan komunis, para
mahasiswa agar tidak bergerak sendiri-sendiri tetapi terpadu dalam satu
kesatuan aksi. Dan menganjurkan kepada mahasiswa agar membentuk Gerakan
Mahasiswa yang terpadu dengan nama “ Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia” (KAMI).
Sejak saat itulah terbentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian
diikuti oleh munculnya berbagai kesatuan aksi lainnya. Kesatuan-kesatuan aksi
ini tergabung dalam Badan Koordinasi Kesatuan Aksi. Pada tanggal 31 Desember
1965 BKKA dan Fron Pancasila menandatangani naskah deklarasi mendukung
pancasila, yang bertujuan menggalang persatuan antara rakyat dan ABRI sebagai
Dwi Tunggal dalam mengamalkan ideologi pancasila secara murni serta menolak
usaha pembelaan terhadap Gerakan 30 September dalam bentuk apapun.
5.
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)
Janji
yang berulang kali diucapkan Presiden Soekarno untuk memberikkan penyelesaian
politik yang adil terhadap pemberontakan G-30-S/PKI belum juga diwujudkan.
Sementara itu, gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI kian keras dan
bertambah luas. Situasi yang menjurus kearah konflik politik tersebut bertambah
lagi dengan munculnya rasa tidak puas terhadap kesdaan ekonomi negara.
Dalam keadan serba tidaak puas dan tidak sabar,
akhirnya tercetuslah Tri-Tuntutan hati Nurani Rakyat, atau lebih dikenal
sebagai Tri Tuntutan Rakyat, yang disingkat menjadi Tritura. Dengan dipelopori
oleh KAMI dam KAPI, pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan aksi yang
bergabung dalam fron Pancasila memenuhi halaman DPR GR dan mengajukan tiga buah
tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tritura itu, yang isinya adalah :
- Pembubaran PKI;
- Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI; dan
- Penurunan harga dan perbaikan ekonomi.
- KOMANDO PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
Sore
hari tanggal 2 Oktober 1965 setelah berhasil mengiuasai kembali keaasaan kota
Jakarta, Mayend Soeharto menemui Presiden di Istana Bogor. Dalam pertemuan
tersebut presiden memutuskan untuk secra langsung memegang tampuk
PimpinanAngkatan Darat yang semenjak tanggak 1 Iktober 1965 untuk
sementara Mayjend Soeharto. Sebagai pelaksana harian presiden menunjuk Mayjend
Pranoto Reksosamudro untuk menyelenggarakan pemulihan keamanan dan
ketertiban seperti sedia kala ditunjuk Mayjend Soeharto, panglima Kostrad.
Keputusan tersebut disiarkan oleh Presiden dalam
Pidato melalui RRI Pusat dini hari pukul 01.30 tanggal 3 Oktober 1965.
Pengangkatan Mayjend Soeharto sebagai panglima operasi pemulihan keamanan dan
ketertiban serta pembentukan komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban
(Kopkamtib) kemudian diatur dengan Kepres/Pangti ABRI/Koti Nomor 142/Koti/1965
tanggal 1 November 1965, Nomor 162/Koti/1965/tgl 12 November 1965 dan
Nomor 179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965.
Tugas pokok Kopkamtib adalah memulihkan keamanan
dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa Gerakan 30 September serta
menegakkan kembali kewibawaan pemerintah pada umumnya dengan jalan operasi
fisik, militer dan mental. Dalam usaha penumpasan gerakan pemberontakan
ini, di mana-mana ABRI mendapat bantuan dari rakyat dan bekerjasama dengan
organisai-organisasi politik dan organisasi-organisasi massa yang setia kepada
pancasila.
- SURAT PERINTAH 11 MARET
Pada
tanggal 11 Maret 1966 Presiden mengeluarkan surat perintah kepada Letjen
Soeharto, menteri/pangad, yang pokoknya berisi perintah kepada Letjen Soeharto
untuk atas nama presiden/Pangti ABRI/peminpim besar Revolusi, mengambil sega
tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kesetabilam
pemerintahan.
Pemberian surat perintah tersebut merupakan
pemberian kepercayaan dan sekaligus pemberian wewang kepda Letjend Soeharto
untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba tidak menentu. Keluarnya Surat
Perintah tersebut disambut dengan semangat yang menggelora oleh rakyat dan
durat perintah tersebut sering disebut “Supersemar” (Surat Perintah 11 Maret).
Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada Supersemar, dengan menimbang masih
adanya kegiatan sisa-sisa G30S/PKI serta memperhatikan hasil-hasil pengadilan
dan keputusan Mahkamah militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh G30S/PKI, pada
tanggal 12 Maret 1966 Letjend Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi menandatangani Surat Keputusan Prsiden/Pangti ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi/PBR. No 1/3/1966, yaitu pembubaran PKI dan organisasi-organisasi
yang bernaungdan berlindung dibawahnya serta menyatakan sebagai organisasi
terlarang di wilayah kekuasaan Negara RI.
- PEMBUBARAN PKI
Berdasarkan
wewenang yang bersumber pada Supersemar, Letjend Soeharto atas nama Presiden
menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI, termasuk semua bagian-bagian
organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang
se azas/ berlindung/bernaung dibawahnya, keputusan tersebut dituangkan dalam
Keputusan Presiden/Pangti ABRI/mandataris MPR/PBR no.1/3/1966 tanggal 12 maret
1966 dan merupakan tindakan pertama Letjen Soeharto sebagai pengemban perintah
11 Maret atau Supersemar.
Keputusan pembubaran dan pelarangan PKI itu
diamabil oleh pengemban Supersemar berdasarkan pertimbangan bahwa PKI telah
nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Bukan itu saja, tetapi
telah dua kali pengkhianatan terhadap negara dan rakyat Indonesia yang sedanag
berjuang.
Seluruh rakyat yang menjunjung tinggi landasan
falsafah dan ideologi Pancasila waktu itu serentak menuntut dibubarkannya PKI.
Oleh karena itu, keputusan pembubaran PKI itu disambut dengan gembira dan
perasaan lega oleh seluruh rakyat Indonesia.
Saat-saat Penumpasan G 30 S/PKI
a.
Pasca Kejadian
Dalam
sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan
Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari
pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh
sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.
Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari,
menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari
Nepal, Mongolia, Uni- Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi
Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontrarevolusioner apa yang dinamakan
pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.” Pada
tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI
Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
“pemberontak” dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober Sukarno
mengimbau rakyat untuk menciptakan ”persatuan nasional”, yaitu persatuan
antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung
“pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”. Pada tanggal
12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan
Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: “Kita dan rekanrekan kita
bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik…Kita mendengar
dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat
Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan…Imbauan ini akan
dimengerti secara mendalam.” Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno
melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana
Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat
Suharto disumpah
b.
Asumsi Penangkapan dan Pembunuhan
Dalam
bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau
mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua
partai kelas buruh yang diketahui
dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan
diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan
ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November)
dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak
diketahui dengan persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000
orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun
diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam
bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara,
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan
seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada
laporan-laporan bahwa Sungai Brantas didekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat
sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”. Pada
akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota
dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan
ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA
[1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan
melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time”
memberitakan: ”Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang
sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang
serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat
membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang
sungaisungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.” Di pulau Bali,
yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang
menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando
elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhanpembunuhan ini.
Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang
mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galiangalian dan
tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani
meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah
lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh temanteman mereka untuk
membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis “anti-Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes
atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat. Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di
kampkamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih
dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi
masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun
1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon
Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
Semua hal tersebut hanyalah
asumsi-asumsi yang dihembuskan pihak asing dan konco-koco PKI setelah
kejatuhan Suharto, hal tersebut bisa dikatakan asumsi karena sampai saat
ini tidak ada bukti nyata pembantaian-pembantaian tersebut. Bahkan sampai
saat ini, bekas anggota PKI masih banyak yang masih hidup dan tidak
dipenjara atau dibunuh. Asumsi-asumsi demikian sangat menghancurkan citra
bangsa Indonesia di mata dunia Internasional, perlu diluruskan bahwa semua
asumsi-asumsi pembunuhan dan pembantaian memiliki sumber yang tidak jelas
dan tidak dapat
dipercaya.
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
§
Mayjen
Soeharto ditugaskan untuk pemulihan keamanan danketertiban yang terkait dengan
G30S/PKI.
§
Kebijakan
Presiden Soekarno mengenai penyelesaian G30S/PKIdinyatakan dalam sidang
paripurna Kabinet Dwikora tanggal 6Oktober 1965 di Istana Bogor.
Penumpasan G30S/PKI di Jawa Tengah dan
Yogyakarta
§
Brigjen
Surjosumpeno segera memanggil para perwira untukmelakukan taklimat.
§
Pangdam
memerintahkan kepada para pejabat supaya tetap tenang dan berusaha untuk
menenangkan rakyat karena situasi yang sebenarnya belum diketahui.
Berangkat ke Magelang untuk menyusun kekuatan.
§
Tanggal 2
Oktober membebaskan kota Semarang dengan kekuatan 2 pleton BTR.
§
Kota demi
kota yang pernah dikuasai oleh pihak G30S/PKI itu berhasil direbut
kembali.
§
Dibentuk
Komando Operasi Merapi yang dipimpin oleh KolonelSarwo Edi Wibowo.
§
Kolonel
Sahirman, Kolonel Maryono, dan Kapten Sukarno berhasilditembak mati.
§
Di Blitar
dengan nama Operasi Trisula.
§
Di luar
Jakarta dan Jawa Tengah cukup dilakukan dengan GerakanOperasi Territorial.f.
§
Dampak
Sosial-Politik Peristiwa G30S/PKI terhadap masyarakatIndonesia
§
Kondisi
politik Indonesia masih belum stabil, kehidupan ideologynasional belum mapan,
kemelaratan di mana-mana, keamanannasional sulit dikendalikan.
PENUMPASAN G30S/PKI DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA
Ketika
meletus G30S/PKI, daerah yang paling gawat keadaannya adalah di Jakarta dan
Jawa Tengah. Kodam VII/Diponegoro memiliki 3 brigade, yaitu 4,5,6. Sebagai
hasil penggarapan biro khusus PKI, anggota brigade 4 digunakan oleh kaum PKI,
sedangkan pada brigade 5 hanya sedikit yang terpengaruh oleh PKI, hanya brigade
6 yang tidak terpengaruh. Batalyon yang yang sering digunakan oleh kaum PKI
adalah Batalyon K dan M yang berkedudukan di solo. Batalyon L dan C
berkedudukan di Jogjakarta, serta Batalyon D berkedudukan di Salatiga.
Munculnya G30S/PKI di Jawa Tengah
diawali dengan siaran RRI Semarang.
Dewan Revolusi Yogyakarta
mengumumkan melaui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 bahwa ketua PKI di Yogyakarta
adalah Mayor Mulyono. Dengan Batalyon L mereka menguasai Makorem 072 dan
menculik kepala staf yaitu Letnan Kolonel Sugiyono.Pada tanggal 2 Oktober 1965
terjadi demonstrasi anggota PKI dan organisasi massanya di depan Makorem 072
untuk menyatakan dukungannya terhadap gerakan 30 september 1965.
Mereka menculik Komandan Brigade 6
Kolonel Azahari, Kepala Staf Brigade 6 Letnan Kolonel Purwoto, Kepala Staf
Kodim 735 Mayor Soeparman, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten
Prawoto dan Komandan Batalyon M, Mayor Darso. Selain melakukan penculikan,
mereka juga melakukan pendudukan terhadap kantor RRI, telekomnikasi dan
bank-bank negara. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Wali kota Solo Oetomo Ramelan
menyatakan dukungan kepada PKI.
Pangdam VII/ Diponegoro, Brigadir
Jendral Surjosumpeno,setelah mendengar pengumuman dari Kolonel Untung melalui
radio, segera memanggil perwira stafnya dan Sad Tunggal Jawa Tengah unutk
mengadakan Taklimat(briefing).
Atas dasar keadaan yang tidak
sesuai harapan di Semarang, Salatiga dan Solo. Panglima daerah VII/Diponegoro
mengadakan taklimat dengan komandan setempat dan memutuskan unutk menggerakan
pasukan dalam upaya memberantas G30S/PKI.
Operasi penumpasan dimulai pada
tanggal 2 Oktober 1965. Pasukan bergerak pada pukul 05.00 untuk membebaskan
kota Semarangdengan kekuatan 2 pleton BTR(Broneto Transportasi), yaitu
kendaraan yang mengangkut personil Kavaleri pimpinan Jassin Husein dan 1
Batalyon Artileri Medan dengan tugas infantry.
Untuk memantapkan konsilidasi Kodam
VII/Diponegoro, pada tanggal 5 Oktober 1965 Pangdam Mengdakan taklimat secara
simultan dengan para komandan pleton di kota Salatiga, Solo, dan Yogyakarta.
Untuk mengatsi kekacauan pada
tanggal 16 Oktober 1965 dengan bantuan RPKAD serta pasukan Kavaleri Pangdam
VII/Diponegoro tiba di Semarang tanggal 19 Oktober 1965. Daerah Jateng yang
dianggap paling gawat adalah Surakarta, Klaten, dan Boyolali.
Pada tanggal 1 Oktober 1965
dibentuk komando operasi merapi yang
dipimpin oleh Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Dalam operasi ini
pimpinan PKI Jateng seperti Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, dan Kapten
Sukarno ditembak mati. Dengan keberhasilan itu, pada tanggal 30 Desember
pasukan RPKAD di tarik dari Jateng kembali ke Jakarta.
Pembersihan terhadap PKI juga di
lakukan di Blitar Selatan, di namai Operasi
Trisula pada tanggal 3 Juli 1968. Operasi berlangsung satu setengah bulan
dan menangkap 850 orang PKI yang mendukung G30S/PKI. Operasi penumpasan juga
dilakukan di perbatasab Jateng dan Jatim, yaitu di daerah gunung Lawu dan
Kendeng, sedikitnya 200 kader PKI
tertangkap. Penumapasan di Purwodadi setelah tercium bahwa PKI gelap Membangu
STPR(Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat).
Dalam operasi itu berhasil
menangkap Supono Marsudidjojo, orang kedua biro PKI. Di luar Jakarta dan Jateng
operasi hanya dilakukan dengan Territorial dan penangkapan tokoh.
Secara keseluruhan pemberontakan
yang bernama G30S/PKI yang ditengarai di dukung oleh PKI telah berhasil
ditumpas.
2 komentar:
Poltik Indonesia gelap baik dimasa lalu sampai saat ini
Poltik Indonesia gelap baik dimasa lalu sampai saat ini
Posting Komentar